Harun ibn ‘Abdillah, seorang ulama ahli hadits yang juga pedagang kain di kota
Baghdad bercerita:
■ Suatu hari, Saat malam beranjak larut, pintu rumahku di ketuk.
“Siapa..?”, tanyaku.
■ “Ahmad”, jawab orang diluar pelan.
■ “Ahmad yg mana..?”
Tanyaku makin penasaran.
■ “Ibn Hanbal”, jawabnya pelan.
■ Subhanallah,
Itu guruku..!, kataku dalam hati.
■ Maka kubuka pintu. Kupersilakan beliau masuk, dan kulihat beliau berjalan berjingkat, seolah tak ingin terdengar langkahnya.
■ Saat kupersilakan untuk duduk, beliau menjaga agar kursinya tidak berderit mengeluarkan suara.
■ “Wahai guru, ada urusan yang penting apakah sehingga dirimu mendatangiku selarut ini..?”
■ “Maafkan aku ya Harun…
Aku tahu biasanya engkau masih terjaga meneliti hadits selarut ini, maka aku pun memberanikan diri mendatangimu.
■ Suatu hari, Saat malam beranjak larut, pintu rumahku di ketuk.
“Siapa..?”, tanyaku.
■ “Ahmad”, jawab orang diluar pelan.
■ “Ahmad yg mana..?”
Tanyaku makin penasaran.
■ “Ibn Hanbal”, jawabnya pelan.
■ Subhanallah,
Itu guruku..!, kataku dalam hati.
■ Maka kubuka pintu. Kupersilakan beliau masuk, dan kulihat beliau berjalan berjingkat, seolah tak ingin terdengar langkahnya.
■ Saat kupersilakan untuk duduk, beliau menjaga agar kursinya tidak berderit mengeluarkan suara.
■ “Wahai guru, ada urusan yang penting apakah sehingga dirimu mendatangiku selarut ini..?”
■ “Maafkan aku ya Harun…
Aku tahu biasanya engkau masih terjaga meneliti hadits selarut ini, maka aku pun memberanikan diri mendatangimu.
Ada hal yang mengusik hatiku sedari siang tadi.”
■ Aku terkejut. Sejak siang..?
Apakah itu wahai guru ??
■ “Mmmm begini…”
Suara Ahmad ibn Hanbal sangat pelan, nyaris berbisik.
■ Siang tadi aku lewat disamping majelismu, saat engkau sedang mengajar murid-muridmu.
Aku saksikan murid-muridmu terkena terik sinar mentari saat mencatat hadits-hadits, sementara dirimu bernaung di bawah bayangan pepohonan.
■ Lain kali, janganlah seperti itu wahai Harun.
Duduklah dalam keadaan yang sama sebagaimana murid-muridmu duduk..!
■ Aku tercekat, tak mampu berkata…
■ Maka beliau berbisik lagi, mohon pamit, melangkah berjingkat dan menutup pintu hati-hati.
■ Masya Allah…
Inilah guruku Ahmad ibn Hanbal, begitu mulianya akhlak beliau dalam menyampaikan nasehat.
■ Beliau bisa saja meluruskanku langsung saat melintasi majelisku. Tapi itu tidak dilakukannya demi menjaga wibawaku dihadapan murid-muridku.
■ Beliau juga rela menunggu hingga larut malam agar tidak ada orang lain yang mengetahui kesalahanku.
■ Bahkan beliau berbicara dengan suara yang sangat pelan dan berjingkat saat berjalan, agar tidak ada anggota keluargaku yang terjaga.
■ Lagi-lagi demi menjaga wibawaku sebagai imam dan teladan bagi keluargaku.
■ Teringat perkataan Imam Asy Syafi’i:
■ “Nasehati aku saat sendiri, jangan di saat ramai & banyak saksi.
Sebab nasehat ditengah khalayak, terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak; Maka maafkan jika hatiku berontak…”
Astaqfirrullah..
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar